Menjadikan Isra Miraj Sebagai Momentum Refleksi Keimanan Manusia. - DEMA Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga

Breaking

Random Posts

BANNER 728X90

Minggu, 12 Mei 2019

Menjadikan Isra Miraj Sebagai Momentum Refleksi Keimanan Manusia.

Pemateri acara Isra Miraj, Dr.Fahrudin Faiz menyampaikan pembahasan tentang makna filosofis Kejadian Isra Miraj
Yogyakarta, 16 April 2019, dalam memperingati momentum Isra Miraj, Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam (DEMA-FUPI) mengadakan seminar bertajuk tema memahami kisah isra miraj; Teosentris, Filsafat, dan Antroposentris. Dengan diawali dengan pembacaan tilawah al-Quran yang disampaikan saudara Kamaludin, acara pun berlangsung khidmat dan mendapatkan antusias tinggi dari para peserta yang hadir.
Seminar ini berlangsung di Ruang Smartroom FUPI dengan menghadirkan pemateri Dr. Fahrudin Faiz, seorang dosen Fakultas Ushuludin yang memiliki concern keilmuan dibidang ilmu Filsafat. Hadirnya beliau dalam acara ini, diharapkan dapat memberikan warna baru bagi perkembangan kisah isra miraj yang selama ini kita ketahui dikebanyakan, terutama dalam hal ini penggalian makna-makna filosofis dari kejadian tersebut.
Pemateri dalam hal ini menjelaskan bahwa Isra’ mi’raj merupakan sebuah momen atau peristiwa yang luar biasa dan alogic (tidak masuk akal). Bagi kita sebagai umat muslim, kejadian itu tidak bisa ditentang dipertanyakan lebih lanjut, tidak ada langkah yang lebih tepat kecuali dengan mengimaninya terlebih dahulu. Seperti diantaranya apa yang kemudian diimani pula oleh seorang sahabat bernama Abu Bakar. Ini tentunya, berbeda dengan apa yang dialami Orang-orang Kafir Qurays, semenjak kejadian ini telah terjadi, mereka berusaha sekuat mungkin untuk mamastikan bahwa kisah itu hanya spekulatif dan Nabi Muhammad itu berbohong.
Dr. Fahruddin Faiz menyampaikan bahwa, momen Isra miraj itu direkam al-Qur’an dan diawali dengan kalimat takjub, yaitu “subhana”, ini menunjukkan bahwa kejadian itu sangat luar biasa dan tidak masuk akal. Inilah yang kemudian mengapa isra’ mi’raj ini sangat tepat disebut mu’jizat. Redaksi al-Qur’an menggunakan term asra sebagai kata kerja (fi’il) yang membutuhkan objek (maf’ul), hal ini menunjukkan bahwa, Nabi itu di piknikkan atau dijalankan oleh Allah dengan jasad dan ruhnya. Sebab, Al-Qur’an itu menggunakan kata ‘Abd sebagai objeknya. Alasan lain, jika hanya mimpi, atau ruh saja, hal itu tidak menarik, Karena semua orang bisa mimpi. kenapa hanya satu malam? Apakah Allah tidak mampu jika dengan angka lebih kecil? Tentu allah mampu. Hanya saja, Allah memperlihatkan kebesarannya pada momen ini pada Nabi Muhammad” ucap Fahrudin Faiz.
Perkembangan teknologi mutakhir di zaman modern ini mungkin bisa menjadi daya tawar terhadap waktu singkat perjalanan Nabi ini “misalnya bisanya perjalanan (dari Mekah ke Palestina, Masjidil Aqsa) satu malam menggunakan pesawat terbang, itu kan bisa kita lakukan sebenarnya” ucap Fahrudin Faiz.
Tapi meskipun begitu ada hal yang masih tidak masuk akal lagi, yaitu, dalam waktu semalam itu, Nabi mengetahui secara jelas apa yang ada disekelilingnya waktu perjalanan ke Al-Quds. Dan Nabi mampu bercerita tentang pertemuan dengan beberapa suku dan kabilah dalam perjalanan itu. Bahkan Nabi mampu menjawab pertanyaan orang-orang yang mencoba melemahkannya. Yaitu tentang Masjid Al-Aqsa. Tapi, hal itu dapat diretasakan oleh Nabi dengan jawaban yang tepat sesuai dengan pengalaman dan pertanyaan yang disampaikan pada Nabi.
Selanjutnya adalah, berbicara tentang sikap kita bagaimana memaknai momen atau peristiwa dari kisah Isra’ Mi’raj itu?, hal apa yang bisa kita akatualisasikan? Ada beberapa poin yang disampaikan oleh Dr. Fahruddin Faiz dalam hal ini, berikut akan dipaparkan refleksi apa saja yang bisa kita lakukan atas kejadian ini, mudah-mudahan dengan kita memahami cara atau sikap kita dalam mengambil ibrah atas kejadian ini. Kita bisa mengambil aspek filososofis dan antropologis atasnya.
Refleksi Isro’: Pertama: ujian keimanan, salah satu ciri khas sesorang, dikategorikan sebagai oang yang beragama adalah beriman. Iman itu dinamis (Up & down) bahkan bisa hilang, kemudian dinisbatkan sebagai sebagai orang yang kafir. Artinya adalah, iman iru merupakan barometer orang-orang yang beragama.
kedua: kelemahan akal, tidak hanya terjadi pada teks al-Qur’an yang terdapat kalmimat mutasayabbihat, tapi dalam kisah Muhammad juga ada, salah satunya adalah kisah Isra’ Mi’roj ini. Dalam hal ini, ini tidak menandakan bahwa Allah itu jahat dan tidak memberikan penjelasan yang logis, memang kita tahu, Allah menuntut kita untuk memfungsikan peran akal sehat untuk berfikir. Namun meskipun begitu, disisi lain, Allah juga meberikan barometer bahwa tidak semua kehendak Allah pada umatnya itu rasional kecuali mengembalikan pada-Nya, bahwa hanya Ia yang Maha Tahu.
Ketiga: kelemahan jiwa, momen Isra Miraj ini juga merupakan momen hari berduka. Sebab, selain Muhammad kehilangan kakeknya yang memberikan perlidungan, ia juga kehilangan istri tercintanya, yaitu Siti Khadijah. Kemudian Allah merencanakan ini adalah sebagai media untuk menghilangkan duka Muhammad, oleh karena itu Isra’ Mi’raj ini juga disebut sebagai hiburan Nabi (tashliyyah). Kejadian ini memberikan nilai, bahwa disuatu titik tertentu, kita aka mengalami kelemahan jiwa itu. dan pada saat itu terjadi, segeralah mendekat pada Allah.
Keempat: usaha dan anugerah, Saat perjalanan dakwah Nabi melewati tantangan yang sangat berat.Terutama pertentangan dari salah satu keluarga Muhammad sendiri, seperti Abu Lahab. Justru Allah memiliki rencana lain, adalah mereka para mustad’afin yang berbondong-bondong mendekat dan masuk Islam. Allah lebih tahu yang terbaik buat kita, tidak hanya sekadar yang kita inginkan tapi yang juga kita butuhkan. Dalam hal ini, Fahruddin Faiz mengatakan Allah itu sebaik-baiknya ahli makar daripada orang-orang yang suka buat makar itu.
Refleksi Mi’roj: kelima: jalan spiritual, perjalanan Nabi selanjutnya dari Masjid Al-Aqsa adalah ke langit ‘Sidratul Mntaha’ untuk menghadap Allah. Hal ini dapat kita ambil nilai adalah spirit untuk selalu mendekat pada Allah. dan yang terakhir adalah rahmat. Rahmat yang dimaksud adalah anugerah besar bagi Muhammad dapat menghadap Allah secara langsung, bahkan, Dalam kitab Ad-Dardir ‘Ala Qisshat Al-Mi’raj dikisahkan, Jibril yang ikut dari awal tidak diperkenan mengikuti langkah Muhammad lebih jauh.
Pertemuan Nabi dengan Allah ini diilustrasikan dalam shalat, yaitu bacaan Tahiyyat pada terkahir shalat. Bahwa, seyogyanya, saat shalat, kita berada dalam situasi klimaks dan kenikmatan menghadap Allah yang di sembah. Posisi Muhammad ini adalah nikmat bagi seorang hamba sahaya bertemu langsung dengan Tuhannya dan kembalinya Muhammad ke muka bumi membawa risalah shalat itu adalah rahmat bagi seluruh umatnya. Spirit selanjutnya adalah, jika pada suatu saat posisi kita berada di puncak kejayaan (sidrat al-muntaha), jangan sekali-kali melupakan orang disekitarnya untuk memberi manfaat pada sesama (shalat).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar